NASIONAL, beritakebumen.co.id - Indonesia turun kelas menjadi negara dengan penghasilan menengah ke bawah (lower middle income) pada 2020. Dimana sebelumnya pada tahun 2019 Indonesia masuk kategori negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income).
Hal tersebut diumumkan Bank Dunia (World Bank) melalui publikasi yang diperbarui setiap 1 Juli. Bank Dunia mencatat Pendapatan Nasional Bruto (GNI) Indonesia turun dari US$4.050 menjadi US$3.870.
Pandemi covid-19 selama setahun memukul penghasilan masyarakat dan menjadi biang penurunan status ekonomi Indonesia.
Perhitungan yang dilakukan Bank Dunia mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar mata uang, dan pertumbuhan populasi yang dipengaruhi oleh GNI per kapita.
Klasifikasi ini sebenarnya digunakan Bank Dunia secara internal sebagai salah satu pertimbangan suatu negara dalam mendapatkan fasilitas dari lembaga keuangan internasional itu. Namun, klasifikasi ini juga dirujuk secara luas oleh organisasi internasional lain.
Dalam klasifikasi baru, Bank Dunia mengkategorikan negara berpenghasilan menengah ke bawah dengan rentang pendapatan US$1.046-US$4.095 dan kelompok penghasilan menengah ke atas US$4.096-US$12.695.
Sebelumnya, klasifikasi penghasilan menengah ke bawah berada dalam rentang US$1.035-US$4.045 dan menengah ke atas sebesar US$4.046-US$12.535.
"Indonesia, Mauritius, Rumania, dan Samoa sangat dekat dengan ambang klasifikasi pada 2019 dan mereka mengalami penurunan Atlas GNI per kapita karena covid-19 yang mengakibatkan klasifikasi lebih rendah pada 2020," jelas Bank Dunia lewat laporannya seperti dikutip CNN, Rabu (7/7).
Artinya, status negara berpenghasilan menengah ke atas hanya mampu dipegang Indonesia selama setahun. Pada tahun lalu, Bank Dunia menaikkan peringkat Indonesia dari negara pendapatan menengah menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas.
"Sebuah prestasi membanggakan. Kenaikan status diberikan berdasarkan penilaian Bank Dunia terkini. GNI per capita Indonesia 2019 naik menjadi US$4.050 dari posisi sebelumnya, yaitu US$3.840," terang Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Rahayu Puspasari kala itu.
(cnn/mt)